Feeds:
Posts
Comments

Archive for January, 2020

42 Langkah

A Journey of thousands Miles Begins with a Single Step- Lao Tze

Apa yang sedang terbayang dalam benakku, memandang hijaunya tumbuhan dan tetesnya air hujan dibalik jendela. Aku duduk di depan meja tulisku. Meja kotak biasa terbuat dari muktipleks dan kursi kayu jati berbeklid merah, yang cukup empug. Kayu jati warisan dari Kakek yang diberikan kepadaku. Ku cat hitam dan ku beklid merah. Perabot yang ku desain utk mewakili moodku, mendekorasi rumah sederhana ini. Hitam untuk kesan misterius dan merah untuk kesan penuh cinta juga menunjukkan keberanian.

Sudah berpuluh tahun kuidamkan suasana ini, mewujudkan citaku menjadi seorang penulis. Menulis apa saja, meninggalkan jejak setidaknya pada blog ini, yang telah lama aku tinggalkan dan hampir terlupakan, bahkan terabaikan. Menyedihkan. Sebagaimana aku kembali lagi pada titik NOL. Dimana aku kehilangan arah , yang ternyata kemudian aku temukan diriku berdiri di depan dilema yang pernah terjadi beberapa tahun silam. Hal ini menjadikanku berpikir, bahwa kehidupanku sebagai manusia berputar-putar disitu saja, sebagaimana inti sel berputar pada orbitnya. hingga mecapai titik inti hingga berproses kembali,begitu dan begitu seterusnya.

Sempat membuatku gentar, sempat juga membuatku goyah. Tapi pengalaman itu ibarat pil pahit yang memberiku obat penguat. Aku temukan diriku sudah tak seperti dulu yang tumbang kemudian merasa terbuang, Aku temukan diriku tetap berdiri, tegap dan tegas. Memandang semua yang terjadi adalah jejak-jejak langkah yang pernah kulalui, sehingga aku bisa bersikap seperti yang kumau.

Berawal dari Angan

Di setiap perbincanganku dengan teman yang tinggal di luar negeri,selalu kuselipkan harapanku untuk bisa mengunjungi negeri mereka. Enth bagaimana kesan mereka padaku, aku ga peduli. Hingga saat itu tiba. Saat Tuhan kabulkan harapanku. Saat suami berhasil lolos untuk medapatkan beasiswa ke luar negeri. Jepang, seperti yang kuharapkan. Mungkin juga dia idamkan. Dragon Ball, Naruto dua dari beberapa tokoh kartun yang kamu suka . Cinta, akhirnya kamu berangkat juga. Kusisihkan airmataku, kutahan kesedihanku. Kusiapkan mentalku menjaga anak-anak.

‘Sunyinya malam ini, sejak dirimu jauh dari pelukan. Selamat jalan kekasih, kejarlah cita-cita. Jangan kau ragu tuk melangkah, demi masa depan dan segala kemungkinan. Jangan kau hiraukan air mata yang jatuh membasahiku…’ 

Syair lagu Chrisye, Selamat Jalan Kekasih ini, mampu menguras airmata dan kesedihan hatiku. Si Kecil yang mendadak suhu badannya tinggi, di pagi hari sebelum penerbangan Ayahnya menuju negeri sakura itu. Tak ada satu air mata yang bisa kuteteskan saat itu, karena aku sudah bertekad untuk cita-cita yang kami rencanakan.

Hari-hari, di rumah yang sudah kami tinggali berempat ini, sungguh terasa sepinya setelah dia berangkat. Aku yang terbiasa manja saat internet mengalami gangguan, kini harus terbiasa membenahi, termasuk hal lainnya. Pagi hari mengantar sekolah, membawa serta si kecil 2tahun sekaligus, yang hampir selalu melanjutkan mimpinya di mobil. Kemudian bisa terbangun saat mobil berhenti di rumah Eyangnya atau di pasar. Bergantung kebutuhan dan keinginan hatiku, apa yang kulakukan setelah mengantar sekolah. Kadang kuhabiskan di rumah, kadang pula kuhabiskan hingga saat menjemput tiba.

Si Kakak Opname 

Hal yang terkadang membuatku terpukul adalah keadaan yang terjadi di luar prediksiku. Aku merasa gagal dan sedih, saat Kakak, anak pertamaku terinfeksi bakteri dan harus opname di Rumah Sakit. Yes, kita habiskan bertiga di RS. Teringat saat itu, aku hanya dibantu satu asisten dan satu sopir. Bagaimana awalnya? Aku bawa si Kakak ke UGD karena panas tinggi. Kemudian dokter memutuskan harus opname untuk observasi lebih lanjut. Aku pun tak ada pilihan, karena tidak biasanya seperti ini. Obat dari dokter anak keluarga juga tidak manjur. Dugaan kami ini karena typhus atau Demam berdarah juga tidak. Batuk pilek pun tidak nampak setelah panas berhari-hari. Hasil lab hanya menunjukkan terinfeksi bakteri. Si bocah mengeluhkan pusing berat. Baiklah, kami bertiga opname. Aku busui bayi 2th, ga mungkin meninggalkan si kecil dengan neneknya.

Tiap malam pun ga sempat nangis, karena harus gantian menjaga. setelah menyusui si bayi, ganti menemani tidur Kakak, 9th. Rasanya cuma pengen garuk–garuk tembok. Di kepala terbersit, “Ampun ya Allah, ternyata aku tidak mampu menjaga mereka sendiri. aku tidak bisa jauh dari Bapaknya untuk menjaga anak-anak”

Baiklah, rasa percaya diri yang begitu besar. Aku bisa dan mampu menjaga anak-anak sendiri. Bahkan alibi bahawa anak-anak biasanya lebih dekat denganku, daripada Ayahnya karena waktunya yang juga dihabiskan untuk mengajar dan aktifitas kantor. Ternyata, kalkulasi itu salah. Tidak begitu. Anak-anak ternyata sudah terbiasa ada Ayahnya, di waktu-waktu yang Ayah berikan untuk mereka. Mandi, cebok, bermain bersama Ayah…Tidak bisa kugantikan begitu saja.

“Ayah, aku mungkin bisa tapi tidak anak-anak…”

“Ga bisa ya, bertahan 6 bulan lagi?”

Maksud hatiku inginnya di Surabaya dulu, sampai siap rumah bisa ditinggalkan. Tapi melihat kondisi anak-anak, cuma air mata yang berderai. Ga sanggup melihat wajah kuyu mereka. Si Kakak yang mulai sembuh, kembali beraktifitas di sekolah dan les-les yang bisa menghibur hatinya. Adik yang mulai apatis, tidak lagi merespon video call dengan antusias. Kecuali ngomong, pengen sana, sama Ayah.

(bersambung)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Read Full Post »